Minggu, 01 Juni 2014

“Kawinnya” Modernitas dan Tradisi di Bali



Oleh : Dwin Gideon
Seni rupa di Bali adalah gabungan dari dua kekayaan sejarah seni rupa, yaitu antara sejarah seni tradisi di Ubud yang dikembangkan lewat seniman rupa Bali turun-temurun, juga sejarah “seni rupa Eropa”.

Kedua latar inilah yang bergabung dalam perhimpunan seniman Pita Maha di Bali pada tahun 1936, menyatukan nama seniman Tjokorda Gede Agung Sukawati, Walter Spies dengan Rudolf Bonnet.
Seniman dengan latar belakang berbeda namun sejiwa ini lalu mempertahankan kualitas seni yang kemudian menjadi ciri khas seni rupa Bali, sekaligus mengembangkan teknik dan topik baru dalam dunia seni lukis. Ide dari Pita Maha kemudian ditawarkan kepada seniman generasi muda di Bali. Mereka juga membantu memperkenalkan karya para seniman muda Ubud-Bali kepada para pelancong dari mancanegara.

Karya koleksi seni Bali Bonnet yang berasal dari akhir tahun 1920-an hingga 1950-an dihibahkan kepada Museum Puri Lukisan. Seni rupa berbagai medium, bisa berupa lukisan, gambar dan patung kayu. Rudolf juga mengumpulkan sejumlah lukisan, yang dibawanya ketika dia kembali ke Belanda di tahun 1958. Di tahun 1961, Bonnet menjual koleksi lukisan kepada Universitas Leiden, yang kemudian menyerahkan lukisan-lukisan ini kepada Museum Etnologi di Leiden sebagai pinjaman tetap yang jumlahnya sampai 127 lukisan.


Pada pameran bertajuk “Pioneers of Balinese Paintings” yang digelar sejak 19 September hingga 23 Oktober di Erasmus Huis, Jl HR Rasuna Said Kav S-3 Kuningan Jakarta ini, Yayasan Rudolf Bonnet menggelar 60 lukisan koleksi Bonnet sejak tahun 1929-1958. Pameran sebelumnya sempat digelar juga di Museum Puri Lukisan di Ubud, Bali.
Ketua Yayasan Ratna Wartha, Tjokorda Putra Sukawati, yang memiliki Museum Puri Lukisan di Ubud hadir pada momen pembukaan pameran itu. “Rata-rata pelukis Bali ini berkumpul di Ubud. Para seniman dari Ubud inilah yang banyak mendominasi seni lukis dari Bali,” kata Tjokorda Gede Putra Sukawati, dalam dialog dengan SH, Kamis (18/9).
Menurut Tjokorda, tempat kumpul yang sama inilah yang banyak mempengaruhi kesamaan gaya dan tekstur dari lukisan-lukisan yang ditampilkan pada pameran kali ini. Dari sekian banyak pelukis yang ada di Ubud itu, I Gusti Nyoman Lempad adalah seorang yang paling menonjol. Selain sebagai pelukis Bali yang legendaris, Lempad juga dikenal sebagai undagi, perencana bangunan tradisional, dan sangging, pembuat perangkat untuk upacara Ngaben.
Lempad dilahirkan di Bedahulu tahun 1862, dan meninggal pada 9 Mei 2008. Pada tahun 1970, Lempad mendapat Anugerah Seni dalam bidang seni lukis dari Pemerintah Indonesia dan penghargaan Dharma Kusuma dari Pemda Bali tahun 1982. “Di Leiden sendiri, nama Lempad sudah cukup dikenal,” tambah Ketua Yayasan Rudolf Bonnet, Pienke Kal.
Masyarakat yang sudah pernah menyaksikan koleksi Bonnet, menurut Pienke, pasti akan menyatakan kekagumannya terhadap karya Lempad. Seperti halnya pelukis Bali yang lain, Lempad tidak banyak bermain warna di dalam karya-karyanya. Lukisan-lukisannya kebanyakan “hanya” menggunakan tinta hitam-putih. Untuk temanya sendiri, Lempad banyak melukiskan kegiatan masyarakat sehari-hari.
“Satu ciri yang menjadi kekhasan karya-karya Lempad adalah bahwa dari tema keseharian tersebut, Lempad selalu menampilkan suasana yang gembira dalam lukisan-lukisannya,” kata Pienke. Bahkan, senyum sebagai simbol kegembiraan tidak hanya ditampilkan pada gambar-gambar orang, tetapi juga pada gambar hewan yang ada di lukisannya. Seperti pada Two Farmers and Bullocks, Lempad melukiskan dua petani yang sedang mengendarai pedati yang ditarik kerbau. Baik petani maupun kerbaunya digambarkan dengan senyum yang riang.
Demikian juga pada The God Siwa and His Son Kala. Meskipun menampilkan tema religius dengan makna yang mendalam, Lempad tetap tidak lupa menampilkan senyum yang riang pada tokoh-tokoh yang ada di sana, Dewa Siwa dan Putranya, Kala. “Dengan tema kegiatan sehari-hari, Lempad ingin mengajak kita untuk tetap optimistis dan tetap gembira di dalam menjalani hidup,” kata Pienke.
Keseluruhannya, ada empat karya Lempad yang dipamerkan, yaitu The God and His Son Kala, Family Scene, Two Farmers and Bullocks, dan Malem-Servant of The Pandawas. Menurut Pienke, keempatnya mempunyai popularitas yang sama di Leiden. Semua karya disukai banyak penikmat lukisan.
Pameran para pelopor lukisan modern Bali yang diprakarsai oleh Yayasan Rudolf Bonnet di Belanda ini juga dilakukan dalam rangka memperingati 50 tahun berdirinya Museum Puri Lukisan di Ubud. Sebuah tarikan sejarah panjang yang mewarnai seni rupa Nusantara dan seni rupa di dunia, kembali digoreskan.
lihat juga artikel dibawah ini
Arus Figur, Demam Kreatif Seniman Bali
Oleh Putu Wirata








CAKRAWALA kreativitas dunia seni rupa kontemporer di Bali khususnya, agaknya tengah dilanda awan mendung. Sejak munculnya seni klasik kamasan, lukisan tradisional gaya Ubud, maupun Batuan lewat perkumpulan Pita Maha pada tahun 1930-an, lalu perkumpulan Young Artists di Penestanan pada tahun 1950-an, yang kemudian didobrak oleh eksperimen anak-anak muda yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia menjelang akhir tahun 1970-an, sesudahnya tidaklah sedikit seniman-seniman muda yang bereksperimen untuk mencipta sesuatu yang orisinal dan sebisa-bisanya keluar dari style yang sudah menjadi ladang eksplorasi para seniman sebelumnya. Eksperimen memang memerlukan nyali selain kemampuan kreatif yang tak kenal menyerah.


Pelukis-pelukis Ubud tahun 1930-an misalnya, masuk dalam Pita Maha yang sedang gencar melakukan eksperimen dibawah motor trio Walter Spies, Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gde Agung Sukawati, sebuah eksperimen dan eksplorasi yang tidak hanya menghasilkan pelukis-pelukis tradisional yang masuk pada tema-tema baru dalam karyanya, tetapi malah menghasilkan orang yang kreativitasnya benar-benar menyempal dari arus besar Pita Maha, seperti yang tampak pada Gusti Lempad ataupun pematung Cokot.
Selanjutnya, anak-anak muda, mahasiswa ISI (waktu itu ASRI) Yogyakarta asal Bali yang menghimpun diri dalam Sanggar Dewata Indonesia-lazimnya disebut Sanggar Dewata saja-pada tahun 1970-an, dimana berkumpul Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Wayan Sika, Pande Gde Supada, dan lain-lain, menyerap gagasan modern tentang kreativitas berkesenian, tetapi tidak mau meninggalkan akar budayanya yang lekat kuat, sejak mereka lahir dan dibesarkan. Hanya beberapa tahun Made Wianta mengundurkan diri dari Sanggar Dewata, konon karena perbedaan faham dengan Nyoman Gunarsa. Namun, kelak kedua nama ini tumbuh menjadi nama yang diperhitungkan dalam tataran seni rupa kontemporer di Bali maupun Indonesia. Kelak Sanggar Dewata menjadi salah satu ”kantung” kreativitas, yang terlepas dari berbagai dinamika internal yang ada, telah melahirkan sejumlah nama kuat seperti Nyoman Erawan, Nyoman Sukari, Pande Ketut Taman, Nyoman Masriadi, dan sebagainya.
Namun, kendati ketika Sanggar Dewata lahir sempat menjadi polemik di seputar identitas ke-Bali-an, munculnya ”sub-eksplorasi” macam karya-karya Taman dan Masriadi, sampai sejauh ini masih berlangsung dalam dinamika yang gejolaknya dapat dirasakan secara estetis. Identitas ke-Bali-an perlahan-lahan tidak lagi menjadi wacana yang menarik, manakala migrasi seniman-seniman luar Bali menjadikan alam seniman kontemporer di Bali semakin pluralistik. Seniman-seniman Bali maupun kalangan pecinta seni di Bali, misalnya, tidaklah bisa tidak menarik napas pada karya-karya Piter Ditmar yang mengangkat ikon-ikon Budhis dalam ekspresi yang sangat kontemporer. Atau karya-karya Marc Jurt yang pernah dipamerkan di Agung Rai Museum, yang dengan teknik woodcut melakukan eksplorasi tematik pada aneka macam sesajen, detail arsitektur Bali, sawah-sawah, sungai maupun gunung gemunung Bali yang bisa dirasakan kehangatan dan kemesraannya. Perdebatan di seputar identitas ke-Bali-an, dengan sendirinya telah tenggelam oleh iklim plural yang muncul secara alamiah.
Namun, energi kreatif para seniman memanglah bukan sesuatu yang bisa diredam. Paska periode abstrak ekspresionis dengan ikonografi Bali pelukis Sanggar Dewata telah melahirkan Pande Taman dan Masriadi, yang dengan segera menebarkan semangat eksplorasi pada ladang yang sama: eksplorasi figur-figur. Taman dan Masriadi tengah berada dalam rangkaian gerbong kereta api yang bergerak maju, dimana di gerbong depannya ada Gunarsa, Wianta, Erawan, Sukari, Djirna, dan lain-lain.
Tidaklah sedikit perupa-perupa muda Bali yang tengah dilanda oleh semangat eksplorasi pada figur-figur itu, demam yang seakan-akan berlanjut dari beberapa kali Phillip Moris Indonesia Art Award, dimana yang masuk dalam nominasi, lazimnya karya-karya dengan tema-tema figur, entah mengangkat kritik sosial ataupun tema-tema lainnya. Rangkaian dari gejala-gejala ini memang bisa menimbulkan tuduhan, seakan-akan ”demam figur” tengah berjangkit pada seniman-seniman muda. Namun, mungkin akan lebih bijak untuk melihat ”demam figur” ini sebagai representasi dari eksplorasi diri masing-masing seniman. Karena, gejolak pencaharian agaknya tengah melanda banyak seniman, setelah satu generasi eksistensi Sanggar Dewata, yang telah mendeklarasikan satu ekspresi modern tanpa meninggalkan lambang-lambang budaya lokalnya, yang dalam hal ini budaya Bali. Nyoman Gunarsa yang sudah melambung sebagai seniman dengan julukan ”si tangan emas”, dengan Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsanya di Klungkung, toh tetap memerlukan lambang-lambang baru, dengan menyelenggarakan pameran millenium di beberapa museum besar di Bali menjelang akhir tahun 1999 yang lalu. Made Wianta yang sudah kesohor masih perlu menancapkan satu perlambang baru dengan menggelar Art and Peace di pantai Padanggalak, Sanur, menyongsong milenium ketiga, tahun 2001.
Andaikan kita ini boleh bersedih menyaksikan dinamika kaum seniman belakangan ini, terjadi pergeseran makna yang sangat mendalam dalam eksplorasi mereka. Wacana seniman-seniman Bali tahun 1930-an rahim dan lingkungan budaya Pita Maha-lah yang melahirkan Gusti Ketut Kobot, Gusti Nyoman Lempad sampai pada Cokot, Nyana, dan lain-lain. Di tahun 1970-an sampai 1990-an, lingkungan Sanggar Dewata melahirkan Gunarsa, Wianta, Erawan, Taman, sampai Masriadi. Maka, memasuki milenium ketiga ini, yang terjadi adalah dobrakan-dobrakan yang secara kreatif mengguratkan warna muram pada cakrawala seni rupa kontemporer di Bali. Gerakan yang menamakan dirinya Mendobrak Hegemoni muncul dari Kamasra (keluarga mahasiswa seni rupa STSI Denpasar) pada tahun 2000, satu dobrakan yang coba mengobrak-abrik bangunan budaya yang telah dihasilkan sebelumnya: Pita Maha, Sanggar Dewata, galeri-galeri, museum-museum, media massa, kritikus, jurnalis seni, seniman-seniman yang dianggap master dan sebagainya. Dobrakan pelukis muda dari Kamasra ini dilangsungkan dalam sebuah pameran yang digelar di lapangan Puputan Badung, mengobrak-abrik pelukis-pelukis yang sudah dianggap maestro (Gunarsa, Wianta, Erawan, Chusin, Sika), galeri-galeri, Sanggar Dewata, museum, kurator, art dealer, jurnalis seni rupa, kritikus, dan sebagainya, seakan-akan seluruhnya hanyalah ”sampah tak berguna”. Dobrakan mereka seperti hendak meniadakan seluruh akumulasi historis dari penciptaan, satu dobrakan radikal yang hendak membangun dari nol!
Dua tahun setelah deklarasi Mendobrak Hegemoni yang menghebohkan itu, memang belum menstimulasi satu kreativitas baru. Sementara gerak-an Mendobrak Hegemoni tengah mengalami ”masa inkubasi” – satu tahapan menuju pencapaian berikutnya, hancur lebur atau tumbuh sebagai sosok yang lebih mantap-di Ubud, seniman Made Wiradana dan kurator Gde Putu Jaya mengejutkan dengan Deklarasi Akhir Tahun 2001, satu pernyataan terbuka bahwa Wiradana merasa pas berada pada jalur posmodernisme. Walaupun Putu Gde Jaya membabarkan argumen estetik dan filosofis dari deklarasi itu dengan referensi yang tidak bisa disangkal kehebatannya, orang dengan mudah mengentengkannya sebagai pernyataan yang sangat terlambat karena gerakan posmodern telah dilontar-kan oleh seniman-seniman Amerika sekitar 30-an tahun silam. Lagi pula, dengan menjadi anggota Sanggar Dewata-bahkan sekarang ini ia menjadi ketuanya-Made Wiradana sesungguhnya sudah mendeklarasikan diri berada dalam pusaran pluralisme kultural yang menjadi semangat kaum posmodernis.
Namun, walau gerakan Mendobrak Hegemoni belum mendobrak apa-apa dan Deklarasi Akhir 2001 Wiradana tidak menawarkan konsep orisinal yang sesungguhnya, khalayak seni rupa masih bisa memetik hikmah dari spirit gerakan mereka: hasrat untuk berkreasi dan semangat untuk menghasilkan sesuatu yang orisinal serta mempertanyakan apa yang sudah kuat bercokol sebagai mainstream. Ibarat Gunung Mandara Giri yang tengah diputar oleh dua kekuatan dahsyat untuk mencari tirta sanjiwani, kreativitas penciptaan seni rupa agaknya tengah bergemuruh dalam pusaran yang dinamis itu, dimana seniman-seniman melakukan pencaharian dengan segala daya cipta mereka. Ada yang kebablasan dan terjatuh, ada yang terjatuh tapi bangun lagi dan berkarya lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar