Minggu, 01 Juni 2014

PERAN UMAT DALAM AGAMA




Kehadiran Agama-agama dan umat beragama [terutama setelah menjadi organisasi sosial-keagamaan] dengan semangat keagamaannya, sebetulnya mampu berbuat banyak pada konteks sosial, budaya, pekerjaan, dan profesi mereka masing-masing, sekaligus dapat membangun interaksi yang baik antara Agama dan Masyarakat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, peran umat beragama semakin dominan, terutama masyarakat dan pemerintah.

Akan tetapi, di balik semuanya itu, tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar kegiatan umat beragama hanya menunjang program-program di agamanya. Jadi, lebih banyak berpusat pada komunitas agamanya; dan sebagian besar atau pada umumnya belum menyentuh serta berdampak pada masyarakat luas. Padahal dengan kemampuan, kekuatan, ketrampilan, serta serta sumber daya insani umat beragama, bisa menjadikan mereka berbuat banyak dan lebih kepada masyarakat. Karena kehadiran Agama-agama di Nusantara, pada umumnya sebelum Indonesia merdeka, tentu saja telah mempunyai banyak pengalaman membina masyarakat dalam banyak hal. Oleh sebab itu, Agama [melalui berbagai program pemberitaan dan pelayanan dan kesaksian] memperlengkapi umat beragama seoptimal mungkin. Agama bagaikan pesamaian sumber daya insani manusia Indonesia, yang nantinya berhasil mengatasi dan menghadapi berbagai pergumulan dan tantangan [secara internal maupun eksternal] masyarakat dan bangsa.

Pada umumnya, umat beragama [di desa, pedesaan sampai di metropolitan], sering menampilkan diri dan aktif ketika menjelang kegiatan-kegiatan [secara] agamawi yang tradisional [yang sejak dulu sudah ada dan hampir tak berubah], misalnya waktu ibadah, hari-hari raya keagamaan. Timbul pertanyaan, apakah dengan mengikuti hal-hal seperti itu, sudah bisa menjadi acuan bahwa umat beragama telah berperan di/dalam agama? Menurut penulis, belum cukup sebagai acuan. Karena jika hal-hal itu saja yang dilakukan, maka semua peran tradisional tersebut hanya berdampak pada tampilan dan lingkungan fisik agama. Oleh sebab itu, perlu suatu bentuk peran yang lebih holistik menyangkut banyak hal. Hal-hal tersebut antara lain,

Umat beragama Sebagai Pembina Kerohanian. Sejarah agama mencatat bahwa, kehadiran [kemudian berkembang] Agama di Indonesia karena penyebaran agama yang dilakukan oleh para pendatang dari Timur Tengah, Eropa [dan juga Amerika]. Pada perkembangan kemudian umat beragama di Indonesia pun melakukan hal yang sama, agar sesamanya mengenal TUHAN dan menjadi umat salah satu agama. Memang harus diakui bahwa adanya agama-agama di Indonesia karena pekerjaan para missionaris, ustad, kyai, zendeling, pendeta, penginjil dari Timur Tengah, India, Eropah, kemudian Amerika. Mereka sekaligus sebagai guru rohani umat beragama di Indonesia. Namun, keadaan itu, agaknya telah meninggalkan pada umat beragama di Indonesia, bahwa hanya orang-orang yang dipanggil secara khusus [seperti missionaris, ustad, kyai, zendeling, pendeta, penginjil] sajalah yang mampu bertindak sebagai pembimbing rohani [kerohanian] umat. Dengan demikian, ada semacam konsep diri [pada umat beragama] yang tidak terungkap namun ada yaitu, biarlah umat beragama berperan pada bidang lain saja, karena urusan kerohanian umat [termasuk anggota keluarga], adalah porsi mereka yang mempunyai kemampuan untuk itu. Padahal tidak demikian. Umat beragama dapat berperan sebagai pembina kerohanian kepada sesama serta seisi rumahnya.

Dalam kaitan dengan sebagai pembina kerohanian setiap anggota keluarga ataupun seisi rumah, maka hal tersebut harus dilakukan terus menerus hingga mencapai kedewasaan rohani, beragama, berbangsa dan bernegara. Keluarga adalah ladang pendidikan dan bimbingan pertama serta utama kepada anak-anak.

Jika anak-anak bertumbuh serta berkembang dalam keluarga yang baik maka ia akan mempunyai tampilan diri berteladan dan bertanggungjawab di tengah masyarakat. Karena itu, peranan umat beragama [sebagai orang tua] ketika membimbing anak-anaknya agar menjadi manusia Indonesia yang beriman sekaligus mampu mempraktekan apa yang diimaninya. Lebih daripada itu, umat beragama dapat berperan agar seseorang mampu mengalami pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, yaitu menyangkut aspek fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan lain-lain. Dan untuk menjadi seorang pembina, maka ia harus juga belajar atau mengalami proses binaan.

Oleh karena itu, perlu perubahan paradigma [pola dan model] peran umat beragama sehingga memampukan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya memahami kasih dan karya TUHAN Allah dalam hidup sehari hari. Sekaligus mendampingi serta membantu mereka mentransformasi nilai-nilai agama ke dalam hidup dan kehidupan. Dengan demikian, menghasilkan manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya secara bertanggungjawab di tengah masyarakat yang pluralistik. Ada suatu harapan, jika semua umat beragama menyadari diri [betapa pentingnya peran dirinya sebagai pembina kerohanian dalam keluarga] bahwa ia juga bertanggung jawab sebagai pembina kerohanian, maka ibadah-ibadah yang diadakan umat beragama tidak pernah sepi.

Umat beragama Sebagai Pendidik Agama di rumah atau dalam keluarga. Perkembangan  pemikiran, intelektual, kemajuan iptek, cepat serta bebasnya arus informasi dan budaya asing, bahkan perubahan dalam tatanan sosial manusia, berdampak pada  perubahan penilaian terhadap hampir semua aspek hidup dan kehidupan manusia, termasuk agama. Karena perkembangan yang cepat itu, juga menyangkut perubahan nilai-nilai hidup, maka menjadikan masyarakat cenderung mengutamakan hal-hal bersifat materi. Akibatnya, kesuksesan seseorang diukur dari apa atau berapa banyak yang dipunyainya, bukan dari ketentraman serta damai sejahtera dalam hidup.

Di samping itu, kompleksitas kehidupan masyarakat perkotaan dan modern yang penuh  dengan  intrik, penyalahgunaan kekuasaan,  nepotisme,  kolusi, klik politik, sentimen SARA, egoistis, materialistis, ketidakadilan, dan lain-lain; termasuk keberadaan masyarakat pedesaan yang masih saja tertinggal, terlupakan, serta tidak tersentuh arus pembangunan dan modernisasi, merupakan tempat umat beragama berada serta melakukan pelayanan dan kesaksianya. Dalam konteks  itulah, umat beragama ada, berjuang, bersaksi, sekaligus menyampaikan sabda Tuhan kepada anak-anaknya. Di sini, ia berperan sebagai guru agama di rumah, agar mereka tidak mudah terpengaruh pada semua perubahan yang ada di/dalam masyarakat.

Karena salah satu fungsi orang tua [ayah-ibu] di rumah adalah sebagai pendidik; maka mereka juga harus berupaya mengetahui prinsip-prinsip peningkatan kualitas belajar dan mengajar seperti dimiliki para pendidik [guru] di sekolah. Upaya tersebut dapat dilakukan untuk memperlengkapi diri dengan membuka wawasan melalui pembinaan yang dilakukan oleh agama. Untuk itu, memerlukan proses berkelanjutan, karena belajar merupakan sesuatu yang dinamis dan mengarah pada terjadinya perubahan menyangkut ranah kognitif, afektif dan psikomotoris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar