Kehadiran Agama-agama dan umat
beragama [terutama setelah menjadi organisasi sosial-keagamaan] dengan semangat
keagamaannya, sebetulnya mampu berbuat banyak pada konteks sosial, budaya,
pekerjaan, dan profesi mereka masing-masing, sekaligus dapat membangun
interaksi yang baik antara Agama dan Masyarakat. Dalam perkembangan akhir-akhir
ini, peran umat beragama semakin dominan, terutama masyarakat dan pemerintah.
Akan tetapi, di balik semuanya itu,
tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar kegiatan umat beragama hanya
menunjang program-program di agamanya. Jadi, lebih banyak berpusat pada
komunitas agamanya; dan sebagian besar atau pada umumnya belum menyentuh serta
berdampak pada masyarakat luas. Padahal dengan kemampuan, kekuatan,
ketrampilan, serta serta sumber daya insani umat beragama, bisa menjadikan
mereka berbuat banyak dan lebih kepada masyarakat. Karena kehadiran Agama-agama
di Nusantara, pada umumnya sebelum Indonesia merdeka, tentu saja telah mempunyai
banyak pengalaman membina masyarakat dalam banyak hal. Oleh sebab itu, Agama
[melalui berbagai program pemberitaan dan pelayanan dan kesaksian]
memperlengkapi umat beragama seoptimal mungkin. Agama bagaikan pesamaian sumber
daya insani manusia Indonesia, yang nantinya berhasil mengatasi dan menghadapi
berbagai pergumulan dan tantangan [secara internal maupun eksternal] masyarakat
dan bangsa.
Pada umumnya, umat beragama [di
desa, pedesaan sampai di metropolitan], sering menampilkan diri dan aktif ketika
menjelang kegiatan-kegiatan [secara] agamawi yang tradisional [yang sejak dulu
sudah ada dan hampir tak berubah], misalnya waktu ibadah, hari-hari raya
keagamaan. Timbul pertanyaan, apakah dengan mengikuti hal-hal seperti itu,
sudah bisa menjadi acuan bahwa umat beragama telah berperan di/dalam agama?
Menurut penulis, belum cukup sebagai acuan. Karena jika hal-hal itu saja yang
dilakukan, maka semua peran tradisional tersebut hanya berdampak pada tampilan
dan lingkungan fisik agama. Oleh sebab itu, perlu suatu bentuk peran yang lebih
holistik menyangkut banyak hal. Hal-hal tersebut antara lain,
Umat beragama Sebagai Pembina
Kerohanian. Sejarah agama mencatat bahwa, kehadiran [kemudian berkembang] Agama
di Indonesia karena penyebaran agama yang dilakukan oleh para pendatang
dari Timur Tengah, Eropa [dan juga Amerika]. Pada perkembangan kemudian
umat beragama di Indonesia pun melakukan hal yang sama, agar sesamanya mengenal
TUHAN dan menjadi umat salah satu agama. Memang harus diakui bahwa adanya
agama-agama di Indonesia karena pekerjaan para missionaris, ustad, kyai,
zendeling, pendeta, penginjil dari Timur Tengah, India, Eropah, kemudian
Amerika. Mereka sekaligus sebagai guru rohani umat beragama di Indonesia.
Namun, keadaan itu, agaknya telah meninggalkan pada umat beragama di Indonesia,
bahwa hanya orang-orang yang dipanggil secara khusus [seperti missionaris,
ustad, kyai, zendeling, pendeta, penginjil] sajalah yang mampu bertindak
sebagai pembimbing rohani [kerohanian] umat. Dengan demikian, ada semacam konsep
diri [pada umat beragama] yang tidak terungkap namun ada yaitu, biarlah umat
beragama berperan pada bidang lain saja, karena urusan kerohanian umat
[termasuk anggota keluarga], adalah porsi mereka yang mempunyai kemampuan untuk
itu. Padahal tidak demikian. Umat beragama dapat berperan sebagai pembina
kerohanian kepada sesama serta seisi rumahnya.
Dalam kaitan dengan sebagai
pembina kerohanian setiap anggota keluarga ataupun seisi rumah, maka hal
tersebut harus dilakukan terus menerus hingga mencapai kedewasaan rohani,
beragama, berbangsa dan bernegara. Keluarga adalah ladang pendidikan dan
bimbingan pertama serta utama kepada anak-anak.
Jika anak-anak bertumbuh serta
berkembang dalam keluarga yang baik maka ia akan mempunyai tampilan diri
berteladan dan bertanggungjawab di tengah masyarakat. Karena itu, peranan umat
beragama [sebagai orang tua] ketika membimbing anak-anaknya agar menjadi
manusia Indonesia yang beriman sekaligus mampu mempraktekan apa yang
diimaninya. Lebih daripada itu, umat beragama dapat berperan agar seseorang
mampu mengalami pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, yaitu
menyangkut aspek fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan lain-lain. Dan
untuk menjadi seorang pembina, maka ia harus juga belajar atau mengalami proses
binaan.
Oleh karena itu, perlu perubahan
paradigma [pola dan model] peran umat beragama sehingga memampukan orang-orang
yang menjadi tanggungjawabnya memahami kasih dan karya TUHAN Allah dalam hidup
sehari hari. Sekaligus mendampingi serta membantu mereka mentransformasi
nilai-nilai agama ke dalam hidup dan kehidupan. Dengan demikian, menghasilkan
manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya secara bertanggungjawab di
tengah masyarakat yang pluralistik. Ada suatu harapan, jika semua umat beragama
menyadari diri [betapa pentingnya peran dirinya sebagai pembina kerohanian
dalam keluarga] bahwa ia juga bertanggung jawab sebagai pembina kerohanian,
maka ibadah-ibadah yang diadakan umat beragama tidak pernah sepi.
Umat beragama Sebagai Pendidik Agama
di rumah atau dalam keluarga. Perkembangan pemikiran, intelektual,
kemajuan iptek, cepat serta bebasnya arus informasi dan budaya asing, bahkan
perubahan dalam tatanan sosial manusia, berdampak pada perubahan
penilaian terhadap hampir semua aspek hidup dan kehidupan manusia, termasuk
agama. Karena perkembangan yang cepat itu, juga menyangkut perubahan
nilai-nilai hidup, maka menjadikan masyarakat cenderung mengutamakan hal-hal
bersifat materi. Akibatnya, kesuksesan seseorang diukur dari apa atau berapa banyak
yang dipunyainya, bukan dari ketentraman serta damai sejahtera dalam hidup.
Di samping itu, kompleksitas
kehidupan masyarakat perkotaan dan modern yang penuh dengan intrik,
penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, kolusi, klik politik, sentimen
SARA, egoistis, materialistis, ketidakadilan, dan lain-lain; termasuk
keberadaan masyarakat pedesaan yang masih saja tertinggal, terlupakan, serta
tidak tersentuh arus pembangunan dan modernisasi, merupakan tempat umat
beragama berada serta melakukan pelayanan dan kesaksianya. Dalam konteks
itulah, umat beragama ada, berjuang, bersaksi, sekaligus menyampaikan
sabda Tuhan kepada anak-anaknya. Di sini, ia berperan sebagai guru agama di
rumah, agar mereka tidak mudah terpengaruh pada semua perubahan yang ada di/dalam
masyarakat.
Karena salah satu fungsi orang tua
[ayah-ibu] di rumah adalah sebagai pendidik; maka mereka juga harus berupaya
mengetahui prinsip-prinsip peningkatan kualitas belajar dan mengajar seperti
dimiliki para pendidik [guru] di sekolah. Upaya tersebut dapat dilakukan untuk
memperlengkapi diri dengan membuka wawasan melalui pembinaan yang dilakukan
oleh agama. Untuk itu, memerlukan proses berkelanjutan, karena belajar
merupakan sesuatu yang dinamis dan mengarah pada terjadinya perubahan menyangkut
ranah kognitif, afektif dan psikomotoris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar